Selasa, 15 November 2011

Pengorbanan Orang Tua yang Berakhir Dengan Kesedihan

"Berapa harganya nih bang..?", bu Ijah bertanya pada seorang pedagang mainan yang menjual beraneka mainan dalam berbagai bentuk, warna dan rupa yang sungguh sangat menarik, dari yang paling murah sampai paling mahal ada disitu. "35.000 rupiah bu, mau yang ini..?", sambil menunjukkan mainan yang lain, abang penjual menjawab acuh tak acuh, sibuk melayani pembeli lain yang menanyakan hal yang sama ingin mengukur seberapa jauh isi kantung mereka agar bisa ditukar dengan mainan untuk buah hati tercinta.


Bu Ijah bolak-balik dan kemudian menggeleng, mengingat dengan uang 35.000 rupiah, sangat lebih dari cukup baginya untuk belanja sekeluarga satu hari tiga kali makan. "Yang ini saja bu," gigih si abang penjual mainan menawarkan. "Ini lebih murah, cuma gak bisa jalan, harganya hanya 12.500 rupiah," lanjut si abang mainan. Bu Ijah pun merasa bingung, harganya bagus namun barangnya sangat tidak bagus. " Akh, si abang gimana sih, jelek amat mainannya, walau murah, yaa jangan kebangetan dong bang.." mulut bu Ijah kesal. " Ya sudah bang, itu saja, tapi 20.000 rupiah yaa, tunjuk bu Ijah pada mainan mobil-mobilan yang tadinya di bandrol dengan harga 35.000 rupiah/buah. "Tambahin deh bu, 5.000 rupiah lagi, buat makan siang buu" jawab si abang. Tapi tidak lama kemudian, "ambil nih bu," si abang membungkus mainan dengan cepat dan menyodorkan kepada si ibu. Dengan wajah terpaksa akhirnya mengambil mainan tersebut karena ingat buah hati kesayangannya yang berusia 7 tahun pasti senang bila diberi hadiah mainan.

Lelah, penat, keringatan, uang juga banyak berkurang mendorong langkah si ibu dengan tergesa sampai di rumah untuk melihat anak kesayangannya bahagia. Sesampainya di rumah, buah hati bu Ijah menyambut buah tangan bu Ijah dengan gembira, dan langsung berlari ke rumah bagian belakang yang memang merupakan area bermain dengan tetangga, karena bagian belakang rumah langsung menembus lapangan luas, dan anak bu Ijah terdengar berteriak-teriak dengan kawan-kawannya mencoba mainan yang baru dibeli bu Ijah dengan harga 20.000 rupiah.

Lalu dua jam kemudian, anak bu Ijah pulang dengan menangis dan membuang mainan tersebut ke lantai, menunjukkan kemarahannya bahwa sang mainan sudah rusak dan kesal mengapa ibu membeli maianan yang seperti itu. Bu Ijah hanya bisa menatap sedih dan membujuk anaknya dengan penuh kasih sayang. Sungguh, anak kecil yang tidak di didik untuk berterima kasih, ketika menerima mainan pun dia diam-diam saja, tidak mengucapkan terima kasih atau apapun pada sang ibu.

Hal ini dapat terjadi karena sang anak tidak pernah diajak untuk bicara dan diceritakan bagaimana pengorbanan sang ibu berkutat dengan penjual mainan dalam tawar-menawar, peluh bercucuran serta mengorbankan uang makan sekeluarga dari harusnya makan agak enak menjadi kurang enak, juga bagaimana ibu senang bila anaknya merasa senang. Hal lain adalah sang ibu tidak pernah memberikan rambu-rambu kepada anaknya bagaimana memainkan mainan yang baru dibeli sehingga si anak mampu menghargai pemberian ibunya dan memainkan mainan miliknya dengan lebih hati-hati yang kemudian dapat bersyukur atas apa yang didapatkan. Sangat sayang rasanya bila kita sebagai orang tua hanya mampu berkorban untuk si anak, baik korban tenaga, uang dan perasaan sementara sang anak tidak pernah diajarkan bagaimana menghargai pengorbanan tersebut sehingga tidak tahu berterima kasih dan yang tersisa hanyalah kesedihan atas pengorbanan yang tidak diketahui anaknya.
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduads/11/06/07/lmel4j-pengorbanan-orang-tua-yang-berakhir-dengan-kesedihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar